Kamis, 25 Juni 2015

Alasan Pembaharuan Hukum Pidana Filed under: All About Pidana — Leave a comment December 10, 2010 PENDAHULUAN Menurut Prof Soedarto, didalam hukum pidana ada 3 tahap konkretisasi hukum Pidana. Konkretisasi adalah menjadikan sesuatu yang dapat dilaksanakan dari hal-hal yang abstrak. Ketiga tahap tersebut adalah : Formulasi Aplikasi Eksekusi Setelah perang dunia kedua, banyak bermunculan Negara-negara baru. Negara-negara ini mempelopori upaya untuk memperbaharui hukum pidana. Di Indonesia sendiri, masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda yang mana juga diadakan upaya pembaharuan tersebut. Upaya pembaharuan ini dipandang perlu mengingat kini Indonesia sudah merdeka dan terdapat urgensi untuk menyusun suatu KUHP nasional yang baru. Tentu saja didalam menyusun suatu kitab undang-undang hukum pidana yang baru dan bersumber dari jati diri bangsa tidaklah mudah. Ada banyak permasalahan yang muncul didalam penyusunan KUHP nasional ini. Menurut Prof. Soedarto ada 4 permasalahan yang muncul didalam upaya pembaharuan hukum pidana ini. Keempat masalah itu adalah : Kriminalisasi dan dekriminalisasi Masalah pemberian pidana Pelaksanaan hukum pidana Sejauh mana urgensi dibentuknya KUHP nasional Nomer 1 s/d 3 mencerminkan sistem penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pembaharuan hukum pidana kelak. Masalah diatas akan dicoba diuraikan didalam tulisan ini. PEMBAHASAN 1. Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Ditinjau dari pengertiannya, kriminalisasi adalah proses mengangkat perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Proses kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan hukum pidana. Sedangkan dekriminalisasi dapat diartikan sebagai proses menghilangkan sifat dapat dipidananya perbuatan menjadi tidak dapat dipidana. Selain itu masih ada istilah depenalisasi. Masalah kriminalisasi ini erat kaitannya dengan criminal policy. Criminal policy adalah usaha yang rasional baik dari masyarakat/pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana baik menggunakan sarana penal maupun non penal. Masih menurut Prof. Soedarto ada 4 syarat yang harus diperhatikan didalam melakukan kriminalisasi : – Tujuan : Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka menciptakan Negara kesejahteraan (welfare state). – Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban. – Harus mempertimbangkan factor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang. – Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui batas. 2. Pemberian Pidana (straafmating) Banyak orang mengatakan/mengira bahwa masalah pemberian pidana ini semata-mata masalah hakim. Hal ini dapat dipahami ketika pasal 10 KUHP dijatuhkan (pandangan secara sempit). Padahal arti penting penentuan kualifikasi delik adalah menentukan pemidanaan yang akan dijatuhkan. Pandangan Prof Soedarto mengenai masalah pemberian pidana ini adalah: – Secara umum, tidak semata-mata menyangkut masalah hakim akan tetapi juga menyangkut pembuat UU. Karena hakim hanya melaksanakan UU yang diciptakan oleh si pembuat. Hal ini disebut proses pemberian pidana In Abstracto (secara umum). – Secara khusus, masalah ini melibatkan seluruh aparat penegak hukum (hakim,jaksa,polisi,pengacara,pembuat UU). Disebut juga proses pemberian pidana In Concreto (secara khusus). 3. Pelaksanaan Pidana Pedoman pelaksanaan pidana ini adalah Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebelumnya adalah HIR dan UU lain (UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU MA). KUHAP hendak menyatukan penyidikan (penyidik berada disatu tangan) berdasarkan pasal 284 ayat (2) KUHAP. Di Indonesia saat ini pelaksanaan hukum pidana masih fragmentaris dan instansi centris. Hal ini yang harus dirubah jika ingin melaksanakan hukum pidana secara tepat sasaran dan berdaya guna. 4. Urgensi dibentuknya KUHP nasional Menurut Prof Soedarto ada 3 urgensi dibentuknya KUHP nasional. – Pertimbangan Politis: Yaitu kebanggaan yang dirasakan suatu bangsa jika memiliki KUHP nasional. – Pertimbangan Sosiologis: KUHP suatu bangsa mencerminkan sistem nilai suatu bangsa. – Pertimbangan Praktis: Harus diciptakan KUHP nasional yang berbahasa Indonesia sehingga didalam prakteknya tidak terjadi kesalah pahaman. Selain ketiga pertimbangan diatas, Prof Muladi menambahkan satu pertimbangan lagi, yaitu: Pertimbangan Adaptif: sebisa mungkin mengadaptasi perkembangan yang terjadi di dunia Internasional tanpa harus menghilangkan nilai-nilai nasional. KESIMPULAN Setelah mengetahui alasan dan pentingnya pembaharuan hukum pidana yang telah dikemukakan diatas. Hendaknya kita sebagai penggiat hukum, harus bisa menciptakan pembaharuan-pembaharuan didalam penciptaan hukum pidana. Sehingga kesalahan-kesalahan didalam pelaksanaan itu dapat dihilangkan. Selain itu juga harus dipertimbangkan urgensi dibentuknya KUHP nasional karena merupakan suatu kebanggaan tersendiri mempunyai KUHP nasional yang berasal dari bangsa kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar